(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
Perjalanannya dalam mengiringi kehidupan Rasulullah r tak dapat diabaikan. Kemuliaan yang disandangnya di sisi Rasulullah r tak layak dilupakan. Hingga manusia paling mulia itu pun berkata tentangnya, dialah ibu setelah ibuku….
Wanita yang mulia ini bernama Barkah bintu Tsa’labah bin ‘Amr bin Hishn bin Malik bin Salamah bin ‘Amr bin An-Nu’man Al-Habasyiyah x. Namun dia lebih dikenal dengan kunyahnya, Ummu Aiman.
Semula Ummu Aiman x adalah seorang budak milik ‘Abdullah bin ‘Abdil Muththalib, ayah Rasulullah r. Di kemudian hari, setelah ‘Abdullah bin ‘Abdil Muththalib meninggal, Ummu ‘Aiman x diwarisi oleh Rasulullah r. Dialah yang mengasuh Rasulullah r semenjak kecil.
Tatkala Rasulullah r berusia enam tahun, beliau dibawa oleh ibunya, Aminah bintu Wahb, mengunjungi keluarga sang ibu dari Bani ‘Adi bin An-Najjar di Madinah. Ummu Aiman x menyertai perjalanan mereka. Sebulan lamanya mereka berada di sana.
Ada peristiwa yang tercatat dalam kenangan Ummu Aiman x saat mereka berada di Madinah. Orang-orang Yahudi di sana melihat Rasulullah r. Mereka pun berujar, “Dia adalah nabi umat ini dan ini adalah negeri hijrahnya.” Ucapan mereka itu diingat benar oleh Ummu Aiman. Setelah itu, Aminah membawa putranya kembali ke Makkah.
Namun ternyata itulah saat terakhir kebersamaan Rasulullah r dengan sang ibunda. Dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Makkah, Aminah meninggal di Abwa’, antara Makkah dan Madinah, dan dikuburkan di sana. Pulanglah Ummu Aiman x membawa Rasulullah r dengan dua unta tunggangan mereka.
Setelah ibunda Rasulullah r tiada, Ummu Aiman berperan sebagai ibu bagi Rasulullah r. Tak heran, banyak kisah yang dapat dituturkan oleh Ummu Aiman x tentang Rasulullah r.
Ummu Aiman terus menyertai kehidupan Rasulullah r. Ketika Rasulullah r menikah dengan Khadijah bintu Khuwailid x, Ummu Aiman x mendapatkan kemerdekaan dirinya. Rasulullah r membebaskannya.
Ummu Aiman x, seorang wanita yang teramat mulia. Dari rahimnya terlahir orang-orang mulia. Ummu Aiman x menikah dengan ‘Ubaid bin Zaid z dari Bani Al-Harits bin Al-Khazraj. Dari pernikahan ini, lahirlah Aiman bin ‘Ubaid z yang kelak di kemudian hari turut terjun dalam peperangan bersama Rasulullah r hingga menggapai syahid di medan pertempuran Hunain.
Ummu Aiman x menjalani kehidupannya sepeninggal suaminya. Saat itu, Rasulullah r menjanjikan, “Siapa yang senang menikah dengan seorang wanita ahli surga, hendaklah dia menikah dengan Ummu Aiman.” Datanglah Zaid bin Haritsah z, bekas budak sekaligus seorang yang sangat dicintai oleh Rasulullah r, untuk meminangnya. Dinikahkanlah Ummu Aiman x oleh Rasulullah r dengannya. Lahirlah Usamah bin Zaid c yang kelak di kemudian hari menyandang kemuliaan memimpin pasukan terakhir yang diutus oleh Rasulullah r menghadapi Romawi, sementara dalam barisan pasukan itu ada orang-orang mulia seperti Abu Bakr dan ‘Umar bin Al-Khaththab c.
Ummu Aiman mendampingi Zaid bin Haritsah z hingga Zaid meninggal sebagai syahid saat memimpin pasukan dalam kancah pertempuran yang seru di medan Mu’tah, Syam, pada tahun kedelapan setelah hijrah.
Ummu Aiman x, seorang wanita yang mendapatkan kemuliaan dua hijrah, ke bumi Habasyah dan ke bumi Madinah. Suatu ketika dalam salah satu perjalanan hijrahnya, Ummu Aiman menempuhnya dengan berpuasa. Tiba saat berbuka, tak ada bekal air yang dapat digunakan untuk melepaskan dahaganya yang sangat. Tiba-tiba didapatinya setimba air terulur dari langit dengan tali timba yang berwarna putih. Ummu Aiman pun meminumnya. Ummu Aiman menuturkan, “Semenjak itu, aku berpuasa di siang yang panas dan berjalan di bawah terik matahari agar aku merasa haus, namun aku tidak pernah merasakan dahaga.”
Hijrahnya ke Madinah ditempuhnya selang beberapa waktu setelah Rasulullah r hijrah ke Madinah. Ketika itu Rasulullah r mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ c dengan berbekal dua ekor unta dan 500 dirham untuk membawa dua putri beliau, Fathimah dan Ummu Kultsum c, serta Saudah bintu Zam’ah x. Pada saat itu pulalah Ummu Aiman bersama putranya Usamah bin Zaid bertolak menuju Madinah bersama rombongan ini.
Ummu Aiman terus mengiringi kehidupan Rasulullah r hingga wafatnya. Ketika Rasulullah r telah wafat, Abu Bakr z berkata kepada ‘Umar bin Al-Khaththab z, “Mari kita mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana dulu Rasulullah r biasa mengunjunginya.” Keduanya pun beranjak menemui Ummu Aiman. Ternyata mereka jumpai Ummu Aiman dalam keadaan menangis, hingga mereka pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis? Bukankah apa yang di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah.” Ummu Aiman menjawab, “Aku menangis karena wahyu dari langit telah terputus.” Mendengar penuturan Ummu Aiman, berlinanglah air mata Abu Bakr dan Umar c hingga keduanya pun menangis bersama Ummu Aiman.
Ummu Aiman x sempat menemui saat terbunuhnya ‘Umar bin Al-Khaththab. Ketika itu dia mengatakan, “Pada hari ini Islam menjadi lemah.”
Lima puluh bulan setelah wafatnya Rasulullah r, Ummu Aiman x kembali kepada Rabbnya U. Dia telah menorehkan sebuah kemuliaan yang akan senantiasa dikenang. Dia meninggalkan untaian kebaikan yang akan memberikan teladan. Ummu Aiman, semoga Allah meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.
Sumber bacaan :
‘ Al-Ishabah, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani (8/169-172)
‘ Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (1/128, 2/1793-1795)
‘ Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (1/116, 8/223-226)
‘ Siyar A’lamin Nubala`, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/223-227)
http://www.asysyariah.com/sakinah/cerminan-shalihah/1009-ummu-aiman-cerminan-shalihah-edisi-14.htm
0 komentar:
Posting Komentar