Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Telah berulang-ulang kita singgung tentang penghargaan Islam
terhadap kaum wanita. Namun masih saja ada permasalahan yang
tertinggal, tak sempat diangkat karena keterbatasan yang ada. Karenanya
tidak ada salahnya kita kembali berbicara tentang hal tersebut.
Beberapa bukti yang menunjukkan penghargaan terhadap wanita dalam Islam kita dapati dalam beberapa peristiwa di bawah ini:
1. Dikabulkannya jaminan perlindungan yang diberikan seorang wanita
Hal ini tampak dalam kisah Ummu Hani` bintu Abi Thalib radhiyallahu
‘anha ketika Fathu Makkah, saat ia memberikan perlindungan kepada
mertuanya dan seorang lelaki dari kalangan kerabatnya, padahal dua
orang ini telah diputuskan untuk dibunuh. Ummu Hani radhiyallahu ‘anha
berkisah:
ذَهَبْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ الْفَتْحِ،
فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ. قاَلَتْ:
فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَقَالَ: مَنْ هذِهِ؟ فَقُلْتُ: أُمُّ هَانِئٍ
بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ. فَقَالَ: مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ. فَلَمَّا
فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي
ثَوْبٍ وَاحِدٍ. فَلَمَّ انْصَرَفَ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، زَعَمَ
ابْنُ أُمِّي أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلاً قَدْ أَجَرْتُهُ، فُلاَنَ ابْنَ
هُبَيْرَةَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَدْ أََجَرْنَا
مَنْ أََجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِىءٍ. قَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ: ذَاكَ ضُحًى.
“Aku pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun
terjadinya Fathu Makkah. Aku dapati beliau sedang mandi dalam keadaan
ditutupi kain oleh putri beliau Fathimah. Aku mengucapkan salam kepada
beliau. “Siapa ini yang datang?” tanya beliau dari belakang kain yang
menutupi beliau.
“Saya Ummu Hani` bintu Abi Thalib,” jawabku.
“Marhaban, Ummu` Hani!” sambut beliau.
Selesai dari mandinya, beliau mengerjakan shalat sunnah 8 rakaat dalam
keadaan berselimut1 dengan satu kain. Selesai dari shalatnya, aku
berkata, “Wahai Rasulullah, anak ibuku2 mengaku akan membunuh seseorang
yang telah aku berikan jaminan perlindungan, yaitu Fulan putra
Hubairah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh
kami memberikan perlindungan untuk orang yang engkau berikan
perlindungan, wahai Ummu Hani.” Kata Ummu Hani, “Ketika itu waktu
Dhuha.” (HR. Al-Bukhari no. 357 dan Muslim no. 1666)3
Begitu pula yang terjadi pada Zainab radhiyallahu ‘anha putri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika suaminya yang belum
berislam4, Abul ‘Ash ibnur Rabi’, hendak ditawan oleh kaum muslimin di
Madinah bersama dengan tawanan-tawanan lainnya dan hartanya dijadikan
sebagai rampasan perang5, si suami ini memohon jaminan keamanan dan
perlindungan kepada Zainab. Zainab pun menjanjikan kebaikan dan menanti
hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan
shalat Shubuh bersama kaum muslimin. Kemudian Zainab berdiri di pintu
rumahnya dekat masjid seraya berseru dengan suara yang tinggi, “Sungguh
aku telah memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada Abul ‘Ash
ibnur Rabi’.” Mendengar seruan putrinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia! Apakah kalian mendengar
apa yang telah aku dengar?”
Mereka menjawab, “Iya.”
Beliau lalu bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
sebelumnya aku tidak mengetahui apa-apa hingga aku mendengar apa yang
telah kalian dengar.” Kemudian beliau menyatakan, “Sungguh kami telah
memberikan perlindungan kepada orang yang dilindungi oleh Zainab.”
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah beliau, Zainab
menyusul ayahnya dan memohon kepada beliau agar harta yang diambil dari
Abul ‘Ash dikembalikan kepada Abul ‘Ash, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun mengabulkan. Maka seluruh harta yang dibawa Abul ‘Ash
kembali ke tangannya tanpa berkurang sedikit pun. Segera dia membawa
harta itu kembali ke Makkah dan mengembalikan setiap harta titipan
penduduk Makkah kepada pemiliknya. Lalu dia bertanya, “Apakah masih ada
di antara kalian yang belum mengambil kembali hartanya?” Mereka
menjawab, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan balasan yang
baik padamu. Engkau benar-benar seorang yang mulia dan memenuhi janji.”
Setelahnya Abul ‘Ash menegaskan, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya! Demi Allah, tidak ada yang
menahanku untuk masuk Islam saat itu, kecuali aku khawatir kalian
menyangka bahwa aku memakan harta kalian. Sekarang setelah Allah
Subhanahu wa Ta’ala tunaikan harta itu kepada kalian masing-masing, aku
menyatakan masuk Islam.”
Abul ‘Ash bergegas meninggalkan Makkah menuju Madinah, hingga bertemu
dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengumpulkannya kembali
dengan istrinya Zainab dengan pernikahan yang awal6. (Siyar A’lamin
Nubala` 1/333-334, Al-Ishabah 7/207-208)
2. Haram membunuh wanita dalam peperangan
Bila pasukan muslimin berperang dengan musuhnya maka diharamkan
membunuh wanita, anak-anak, dan laki-laki yang sudah tua, terkecuali
bila mereka turut serta dalam peperangan di barisan lawan. Abdullah bin
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan:
وُجِدَتِ امْرَأَةٌ مَقْتُوْلَةً فِي بَعْضِ مَغَازِي رَسُوْلِ اللهِ صلى
الله عليه وسلم، فَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ
النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ. وَفِي رِوَايَةٍ: فَأَنْكَرَ
“Didapatkan ada seorang wanita yang terbunuh dalam sebagian peperangan
yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau
melarang membunuh wanita dan anak-anak.” Dalam satu riwayat: maka
beliau mengingkarinya. (HR. Al-Bukhari no. 3014 dan Muslim no. 4523)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu berkata, “Ulama sepakat mengamalkan
hadits ini dalam masalah tidak bolehnya membunuh wanita dan anak-anak
bila mereka tidak turut berperang. Namun ulama berbeda pendapat bila
mereka (wanita dan anak-anak ini) ikut berperang. Jumhur ulama secara
keseluruhan berpendapat bila mereka ikut berperang maka mereka
dibunuh.” (Ikmalul Mu’lim bi Fawa`id Muslim, 6/48)
Hanzhalah Al-Katib berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kami melewati seorang wanita yang
terbunuh yang tengah dikerumuni oleh manusia. Mengetahui hal itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا كَانَتْ هذِهِ تُقَاتِلُ فِيْمَنْ يُقَاتِلُ. ثُمَّ قَالَ لِرَجُلٍ:
انْطَلِقْ إِلَى خَالِدٍ ابْنِ الْوَلِيْدِ فَقُلْ لَهُ: إِنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُكَ، يَقُوْلُ: لاَ تَقْتُلَنَّ
ذُرِّيَّةً وَلاَ عَسِيْفًا
“Wanita ini tidak turut berperang di antara orang-orang yang
berperang.” Kemudian beliau berkata kepada seseorang, “Pergilah engkau
menemui Khalid ibnul Walid7, katakan kepadanya bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanmu agar jangan sekali-kali
engkau membunuh anak-anak dan pekerja/orang upahan.” (HR. Ibnu Majah
no. 2842, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Ash-Shahihah no. 701)
3. Peringatan dari menyebarkan berita jelek berkenaan dengan seorang wanita muslimah yang menjaga kehormatannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ
شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka
yang menuduh itu sebanyak delapan puluh kali cambukan dan janganlah
kalian menerima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka
itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 4)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan hukuman 80
kali cambukan bagi orang yang menuduh seorang muslimah dengan tuduhan
yang keji, sementara ia tidak bisa mendatangkan empat orang saksi.
Tidak cukup sampai di situ. Orang tersebut tidak boleh lagi diterima
persaksiannya selama-lamanya, kemudian ia disifati dengan kefasikan.
Tidak cukup sampai di situ hukuman yang diterima. Allah Subhanahu wa
Ta’ala bahkan memberikan ancaman yang lebih keras dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ. يَوْمَ
تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik,
yang tidak pernah berpikir berbuat keji lagi beriman dengan tuduhan
zina, mereka akan terkena laknat di dunia dan di akhirat, dan bagi
mereka azab yang besar, pada hari ketika lidah, tangan, dan kaki mereka
menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”
(An-Nur: 23-24)
Ketika Aisyah radhiyallahu ‘anha dituduh berzina oleh orang-orang
munafik, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat-ayat-Nya yang
panjang dari atas langit ketujuh, yang terus dibaca sampai hari ini,
untuk memberikan pembelaan kepada istri Nabi-Nya yang mulia, seorang
wanita muslimah yang menjaga kehormatan dirinya.
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لاَ تَحْسَبُوهُ
شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا
اكْتَسَبَ مِنَ اْلإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ
عَذَابٌ عَظِيمٌ. لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ.
لَوْلاَ جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا
بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ. وَلَوْلاَ
فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ. إِذْ
تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ
لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللهِ
عَظِيمٌ. وَلَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ
نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ. يَعِظُكُمَ
اللهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
وَيُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلآيَاتِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ. إِنَّ
الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا
لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ
وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ. وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللهَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kalian juga. Janganlah kalian mengira bahwa berita bohong itu
buruk bagi kalian bahkan ia adalah baik (akibatnya) bagi kalian.
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian
terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.
Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong tersebut, orang-orang
mukmin dan mukminah tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri
dan mengapa mereka tidak berkata, ‘Ini adalah sebuah berita bohong yang
nyata.’ Mengapa mereka yang menuduh itu tidak mendatangkan empat orang
saksi atas berita bohong tersebut? Oleh karena mereka tidak
mendatangkan saksi-saksi maka mereka itu di sisi Allah adalah
orang-orang yang dusta. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan
rahmat-Nya kepada kalian semua di dunia dan di akhirat, niscaya kalian
telah ditimpa azab yang besar karena pembicaraan kalian tentang berita
bohong itu. Ingatlah di waktu kalian menerima berita bohong itu dari
mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulut kalian apa yang tidak
kalian ketahui sedikitpun dan kalian menganggapnya suatu yang ringan
saja, padahal di sisi Allah ucapan itu besar. Dan mengapa kalian tidak
berkata, di waktu mendengar berita bohong itu, “Sekali-kali tidaklah
pantas bagi kita membicarakan hal ini. Maha Suci Engkau, wahai Rabb
kami, ini adalah dusta yang besar.” Allah memperingatkan kalian agar
jangan kembali berbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kalian
memang orang-orang yang beriman dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Memiliki hikmah.
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat
keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka akan
beroleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui
sedangkan kalian tidak mengetahui. Dan sekiranya bukan karena keutamaan
Allah dan rahmat-Nya atas kalian semua dan sungguh Allah Maha Penyantun
lagi Maha Penyayang, niscaya kalian akan ditimpa azab yang besar.”
(An-Nur: 11-20)
Ini adalah sepuluh ayat yang kesemuanya turun berkenaan dengan diri
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, sebagai pembelaan terhadap
kehormatan dan kesucian dirinya dari ucapan yang membuat Allah
Subhanahu wa Ta’ala murka dan menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam cemburu. Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat-ayat ini
sebagai pembelaan terhadap kehormatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/379)
4. Wahyu turun menjawab pengaduan seorang wanita
Di antara wahyu yang turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ada yang berisi jawaban terhadap pengaduan wanita. Bahkan turun
surat yang khusus berbicara tentang pengaduan si wanita yang dinamakan
surat Al-Mujadilah. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan:
تَبَارَكَ الَّذِي أَوْعَى سَمْعُهُ كُلَّ شَيْءٍ، إِنِّي لَأَسْمَعُ
كَلاَمَ خَوْلَةَ بِنْتِ ثَعْلَبَةَ وَيَخْفَى عَلَيَّ بَعْضُهُ وَهِيَ
تَشْتَكِي زَوْجَهَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهِيَ
تَقُوْلُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَكَلَ شَبَابِي وَنَثَرْتُ لَهُ بَطْنِي،
حَتَّى إِذَا كَبِرَتْ سِنِّي وَانْقَطَعَ وَلَدِي، ظَاهَرَ مِنِّي،
اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُوا إِلَيْكَ. قَالَتْ: فَمَا بَرِحَتْ حَتَّى
نَزَلَ جِبْرِيْلُ بِهَؤُلَاءِ الْآيَاتِ: قَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلَ
الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللهِ وَاللهُ
يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Maha Suci Zat yang pendengarannya mencapai segala sesuatu. Sungguh aku
mendengar ucapannya Khaulah bintu Tsa’labah namun samar (tidak
terdengar) bagiku sebagiannya. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berkata, ‘Wahai Rasulullah, dia
telah menghabiskan masa mudaku dan aku telah melahirkan banyak anak
untuknya, hingga ketika usiaku telah tua dan aku tidak dapat melahirkan
lagi, ia menzhiharku8. Ya Allah, aku mengadukan perkaraku kepadamu.’
Terus menerus Khaulah mengadu hingga datang Jibril membawa ayat ini:
قَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي
إِلَى اللهِ وَاللهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan
gugatan kepadamu tentang suaminya dan mengadukan halnya kepada Allah.
Dan Allah mendengar soal jawab di antara kalian berdua. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mujadilah: 1) [HR. Ibnu
Majah no. 2063, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dengan
syawahid-nya, lihat Irwa`ul Ghalil 7/175]9
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu dalam tafsirnya terhadap ayat pertama
surah Al-Mujadilah ini menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
diri Khaulah bintu Tsa’labah, istri dari Aus ibnush Shamit. Khaulah
memiliki tubuh yang bagus sementara suaminya agak sedikit mengalami
gangguan jiwa.
Suatu ketika suaminya “menginginkannya” namun Khaulah menolak. Suaminya
marah dengan berkata, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.” Namun
kemudian suaminya menyesali apa yang diucapkannya, padahal zhihar dan
ila` termasuk talak orang-orang jahiliah. Maka Aus berkata, “Tidaklah
aku meyakini kecuali engkau telah haram bagiku.” Khaulah berkata, “Demi
Allah, itu bukan talak.”
Khaulah pun mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengadukan perkaranya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menetapkan bahwa ia telah haram bagi suaminya, Khaulah tidak
menerimanya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, demi Zat yang menurunkan
Al-Qur`an kepadamu, ia tidak menyebut talak. Ia adalah ayah dari anakku
dan ia adalah orang yang paling kucintai.” Namun Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tetap mengatakan ia haram bagi suaminya.
Maka Khaulah mengadukan perkaranya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
terus demikian. Ia menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata,
“Ya Allah, aku mengadu kepadamu. Ya Allah, turunkanlah wahyu kepada
Nabi-Mu yang memberikan kelapangan kepadaku.” (Ma’alimut Tanzil, 4/277)
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menurunkan ayat-ayat-Nya menjawab
pengaduan wanita yang shalihah ini. Semua ini jelas merupakan bukti
kepedulian syariat yang mulia ini terhadap kaum wanita.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Dengan menyilangkan dua ujung kain di atas kedua pundak. (Al-Minhaj, 5/239)
Lihat pembahasan hal ini dalam rubrik Seputar Hukum Islam, dalam pembahasan Syarat-Syarat Shalat, sub judul Menutup Aurat.
2 Yaitu ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dalam satu riwayat
disebutkan, “anak ayahku”, dan ini yang shahih secara makna, karena Ali
adalah saudara kandung Ummu Hani` (Fathul Bari, 1/609).
Ummu Hani menyebutkan “anak ibuku” untuk menekankan hubungan
kemahraman, kedekatan dan kebersamaan mereka dalam satu rahim. Di
samping juga karena seorang anak lebih banyak bersama ibunya. Ini
sesuai dengan sebutan Harun q kepada Musa q dalam surah Thaha ayat 94:
قَالَ يَبْنَؤُمَّ لاَ تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي
“Wahai anak ibuku, janganlah engkau menarik jenggotku.” (Al-Minhaj, 5/239)
3 Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Sebagian pengikut mazhab
kami dan jumhur ulama berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan
diterimanya jaminan keamanan dari seorang wanita.” (Al-Minhaj, 5/239)
4 Dengan keislaman Zainab dan tetapnya suaminya dalam kekufuran,
keduanya pun harus dipisahkan karena Zainab tidak halal bagi Abul ‘Ash
yang masih kafir.
5 Menjelang peristiwa Fathu Makkah, Abul ‘Ash keluar dari negeri Makkah
bersama rombongan dagang membawa barang-barang dagangan milik penduduk
Makkah menuju Syam. Dalam perjalanannya, rombongan itu bertemu dengan
170 orang pasukan Zaid bin Haritsah yang diutus oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadang rombongan dagang itu.
Pasukan muslimin pun berhasil menawan mereka dan mengambil harta yang
dibawa oleh rombongan musyrikin itu, namun Abul ‘Ash berhasil
meloloskan diri. Ketika gelap malam merambah, Abul ‘Ash dengan
diam-diam menemui Zainab untuk meminta perlindungan.
6 Tanpa memperbarui pernikahan mereka.
7 Karena wanita itu terbunuh oleh pasukan terdepan yang dipimpin oleh Khalid ibnul Walid radhiyallahu ‘anhu.
8 Dengan mengatakan, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku”, suaminya
ingin mengharamkan dirinya sebagaimana keharaman ibunya baginya.
9 Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya secara mu’allaq
http://asysyariah.com/print.php?id_online=693
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1238
0 komentar:
Posting Komentar