(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
Untuk apakah kiranya rentang usia bila bukan untuk kemuliaan? Berita kedatangan Khairul Anam di tanah kelahirannya dalam nuansa kemenangan Khaibar disambut oleh seorang wanita mulia dengan sarat harapan. Ingin menyatakan ketundukannya pada Rabbnya, ingin berdamping hidup dengan Rasul-Nya…
Gema kemenangan pasukan kaum muslimin setelah merebut Khaibar terasa di Madinah. Tak selang berapa lama, pada bulan Dzulqa’dah tahun ketujuh setelah hijrah, Rasulullah r disertai para shahabat bersiap untuk menunaikan umrah qadha yang sempat tertunda setahun lamanya dengan adanya perjanjian Hudaibiyah. Kaum muslimin bermaksud menetap di Makkah, negeri yang mereka rindukan, selama tiga hari.
Berangkatlah Rasulullah r ke negeri Makkah. Sementara di sana, ada seorang wanita mulia yang hendak menyongsong turunnya kebaikan dari sisi Rabbnya.
Wanita itu bernama Maimunah bintu Al-Harits bin Hazn bin Jabir bin Al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin ‘Ikrimah bin Hafshah bin Qais Ailan bin Mudlar Al-Hilaliyah x. Ibunya bernama Hindun bintu ‘Auf bin Zuhair bin Al-Harits.
Maimunah pun menjalani kesendiriannya di negeri Makkah. Dia berada di antara kaum muslimin yang menyembunyikan keimanan dalam jiwanya. Betapa inginnya Maimunah saat itu untuk mendapatkan kemuliaan sebagai salah satu di antara ibu-ibu kaum mukminin. Keinginannya pun terungkap di hadapan saudarinya, Ummul Fadhl x, yang segera menyampaikan kepada suaminya, Al-‘Abbas z.
Al-’Abbas pun menyampaikan keinginan Maimunah kepada Rasulullah r. Dikatakan kepada Rasulullah r, “Sesungguhnya Maimunah telah menjanda. Apakah engkau suka bila kunikahkan engkau dengannya?”
Rasulullah r menyambut keinginan itu. Dalam perjalanannya ke negeri Makkah, Rasulullah mengutus Ja’far bin Abi Thalib z yang kala itu baru kembali dari hijrahnya ke Habasyah bersama kaum muslimin untuk mendahului beliau memasuki Makkah. Melalui Ja’far bin Abi Thalib z, Rasulullah r menyampaikan pinangan beliau terhadap Maimunah x. Maimunah pun menyerahkan urusan pernikahan ini kepada Al-‘Abbas z.
Pada tahun itu, Al-’Abbas menikahkan Maimunah x dengan Rasulullah r, dengan mahar 500 dirham. Maimunah x akhirnya meninggalkan kesendiriannya, memasuki gerbang rumah tangga bersama seseorang yang teramat mulia, Rasulullah r. Dialah wanita terakhir yang memasuki perjalanan rumah tangga Rasulullah r.
Namun, waktu berjalan begitu cepat. Setelah tiga hari berlalu, Suhail bin ‘Amr bersama serombongan penduduk Makkah mendatangi Rasulullah r seraya berkata, “Wahai Muhammad! Cepat keluar dari sini! Ini adalah hari terakhir bagimu.” Mendengar ucapan itu, Rasulullah r berkata, “Biarkan aku sejenak di sini agar aku bisa bermalam dengan istriku. Aku akan membuat makanan untuk menjamu kalian.” Namun Suhail bin ‘Amr segera menukas, “Tidak!”
Akhirnya Rasulullah r membawa serta Maimunah x keluar dari negeri Makkah untuk kembali ke Madinah. Tiba di Sarf, sekitar 10 mil dari kota Makkah, beliau pun singgah. Di sana, di tenda Maimunah, beliau bermalam pengantin bersama Maimunah x.
Wanita mulia yang menginginkan kemuliaan. Dari kehidupan rumah tangganya, dia menimba banyak faidah dari suami tercinta. Betapa banyak deretan nama yang mengambil riwayat darinya, hingga tertulislah namanya menghiasi berbagai kitab yang merangkum hadits yang mulia.
Duhai, tibalah saat wanita mulia ini harus kembali kepada Rabbnya, meninggalkan keharuman kenangan akan segenap kebaikan.
Nampak di antara orang-orang yang menshalati jenazahnya, Abdullah bin ‘Abbas c. Kala itu, Abdullah bin ‘Abbas c berpesan, “Kalau kalian mengangkat jenazahnya, hendaknya kalian berlemah lembut dan jangan menggoncangkannya, karena dia adalah ibu kalian.”
Dibawalah Maimunah x di atas pundak orang-orang yang mengusungnya atas perintah Ibnu ‘Abbas c. Lalu Ibnu ‘Abbas bersama kemenakan Maimunah x yang lain, Yazid bin Al-Asham dan Abdullah bin Syaddad, disertai ‘Ubaidullah Al-Khaulani, seorang yatim yang ada di rumah Maimunah x masuk ke dalam kubur Maimunah untuk meletakkan jenazahnya.
Pada tahun ke-51 setelah hijrah itu, Maimunah bintu Al-Harits x meninggalkan kaum muslimin untuk selama-lamanya. Dia dikuburkan di Sarf, di tempat malam pengantinnya yang penuh kenangan bersama Rasulullah r.
Duhai, inilah saat berakhirnya catatan kehidupan seorang wanita mulia yang begitu berkesan, hingga ‘Aisyah pun mengatakan, “Telah pergi seorang yang paling takwa di antara kami, dan paling senang menyambung hubungan kasih sayang.” Maimunah bintu Al-Harits, semoga Allah meridhainya ….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber bacaan:
Al-Ishabah, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani (8/126-128)
Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1914-1918)
Siyar A’lamin Nubala, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/238-245)
Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (35/312)
Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/132-137)
http://www.asysyariah.com/sakinah/cerminan-shalihah/859-maimunah-bintu-al-harits-anugrah-cinta-dalam-asa-cerminan-shalihah-edisi-7.html
0 komentar:
Posting Komentar