(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi)
Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Begitu bunyi ungkapan yang menggambarkan betapa besar kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Demikianlah realitanya. Betapapun besarnya balas budi seorang anak, ia tidak akan mampu menyamai apa yang telah diberikan orang tua kepadanya. Sudah sepantasnya seorang anak berbuat baik dan menaati perintah orang tua, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Di masa-masa terakhir ini, kita dihadapkan pada fenomena pudarnya hukum syariat di tengah-tengah kehidupan keluarga. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari tingginya frekuensi media dalam menampilkan potret kekejian dan kekotoran dalam keluarga.
Seorang bapak dengan tega mencabut keperawanan anak sendiri. Sampai karena takut dan malu, dengan tidak ada rasa sayang, dia pun merenggut nyawa anaknya itu. Sebuah lambang kebuasan hidup dan malapetaka yang dahsyat.
Di tempat lain, seorang anak tega menzinai ibu sendiri. Kemudian dengan tiada rasa takut, menumpahkan darah sang ibu yang telah mengandung dan menyapihnya dengan segala penderitaan.
Semua fakta ini menunjukkan merajalelanya penyakit jahil (kebodohan) di kalangan umat tentang agamanya. Kini, seakan-akan tidak ada lagi yang namanya kasih sayang dalam keluarga. Akibat lebih jauh, rantai pendidikan generasi-generasi Islam pun terancam putus.
Akankah semua itu berakhir? Akankah syariat Allah menyentuh qalbu para orang tua yang jahat dan menyentuh qalbu anak-anak yang durhaka? Mengapa orang tua buas terhadap anak sendiri dan anak tega kepada kedua orang tuanya sendiri?
Jasamu Wahai Ayah Ibu
Tanpa sadar, air mata akan menetes manakala melihat seorang ibu yang telah renta mengais rezeki dengan cucuran keringat dan beban berat di pundaknya. Semua itu dilakukan demi sesuap nasi untuk kelangsungan hidup anak dan keluarganya. Di manakah suaminya? Dan apa yang sedang dilakukannya?
Di sebuah pematang sawah di belahan lain, sepasang orang tua harus diterpa panas matahari menyengat di sekujur tubuhnya, bergulat dengan lumpur yang menguras tenaga. Semuanya dilakukan demi menghidupi diri dan keluarganya. Bukankah yang demikian itu merupakan wujud tanggung jawab dan kasih sayang terhadap diri dan anak-anaknya? Dan jauh sebelum itu, ibu kita telah berkorban dengan pengorbanan yang sekiranya kita bayar dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan sanggup kita untuk menukarnya.
Allah menjelaskan dalam firman-Nya:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya yang telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Dan kepada-Ku lah kembalimu.” (Luqman: 14)
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (4/538) mengatakan: “Allah mengingatkan tentang pengorbanan seorang ibu dan rasa lelah dan berat dengan siap berjaga di malam hari dan siang hari, agar sang anak itu mengingat kebaikan ibunya yang telah dikorbankannya.”
As-Sa’di t dalam Tafsir-nya mengatakan: “Kelemahan demi kelemahan, hal ini terus menerus menyertai seorang ibu mulai dia menjadi setetes air mani (yang dibuahi), mengidam, sakit, lemah, berat, berubah keadaannya, kemudian sakit ketika melahirkan dan ini yang paling dahsyat.”
Karena demikian tinggi pengorbanan kedua orang tua maka janganlah kamu menyombongkan diri di hadapan keduanya dan durhaka. Allah memerintahkan kepadamu agar kamu berterima kasih kepada keduanya.
“Bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua orang tuamu.” (Luqman: 14)
Asy-Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan: “Bagi orang yang menggali Al Qur’an, dia akan banyak menemukan bahwa Allah I menggandengkan perintah untuk beribadah kepada-Nya dengan perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Hal yang demikian bisa ditelaah dari beberapa sisi:
1. Allah sebagai pencipta dan pemberi rizki, maka Dialah satu-satuya Dzat yang harus disembah. Dan kedua orang tuamu yang menjadi sebab adanya kamu, maka sangat pantas kamu berbuat baik kepada keduanya.
2. Allah yang telah memberi kenikmatan dan keutamaan atas seluruh hamba sehingga Dia berhak untuk disyukuri. Adapun kedua orang tuamu, dialah yang mencari segala apa yang kamu butuhkan baik makanan, minuman, dan pakaian. Oleh karena itu, mereka berhak mendapatkan sikap syukur darimu.
3. Allah yang telah memelihara dan mendidik hamba-hamba-Nya di atas jalan-Nya, maka Dia berhak untuk mendapatkan pengagungan dan kecintaan. Begitu pula kedua orang tua. Mereka telah memeliharamu sejak kecil, maka keduanya berhak mendapatkan penghormatan darimu, kelemahlembutan, kerendahan diri, beradab dengan ucapan dan perbuatan.” (Bahjatun Nazhirin, 1/391)
Dari Abu Hurairah z berkata:
“Datang seseorang kepada Rasulullah r lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah , siapakah orang yang paling patut aku berbuat baik kepadanya?’ Rasulullah r bersabda: ‘Ibumu.’ Orang itu berkata: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah r bersabda: ‘Ibumu.’ Orang itu berkata: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah r berkata: ‘Ibumu.’ Orang itu berkata: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah r berkata: ‘Bapakmu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak aku temani?” Rasulullah menjawab: “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian bapakmu, kemudian (keluargamu) yang paling dekat dan yang paling dekat.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah r bersabda:
“Seorang anak tidak akan sanggup membalas jasa orang tuanya kecuali dia menjumpainya sebagai budak lalu dia membelinya dan memerdekakannya.” (HR. Muslim no. 1510)
Hadits ini menjelaskan betapa besar hak kedua orang tua di dalam Islam. (Bahjatun Nazhirin, 1/392)
Menaati Perintah Orang Tua
Dalam permasalahan ketaatan kepada orang tua, manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
Pertama, menaati segala perintah kedua orang tua tanpa melihat perintah tersebut sesuai dengan syariat atau tidak. Hal ini termasuk dari ifrath (melampaui batas).
Kedua, tidak mau menaati perintah kedua orang tua walaupun perintah tersebut tidak dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sikap ini adalah tafrith (meremehkan).
Ketiga, menaati perintah keduanya selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat dan menolak perintah itu bila menyelisihi syariat.
Semuanya ini dapat kita lihat dalam kehidupan kaum muslimin sehari-hari. Lalu manakah sikap yang benar dalam menaati perintah kedua orang tua?
Adapun kelompok pertama yang menaati semua perintah orang tua baik perintah tersebut bermaksiat atau tidak, sangat bertentangan dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah r:
“Tidak ada ketaatan kepada seorang pun di dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu di dalam kebajikan.” (HR. Al-Bukhari no. 40 dan Muslim no. 39 dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib)
Abu ‘Amr Ad-Dani ‘Utsman bin Sa’id Al-Qurthubi berkata: “Tidak ada ketaatan kepada seorang makhluk pun di dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq. Tidak pula bernadzar dalam bermaksiat dan mensyaratkan dengan syarat yang mengandung maksiat. Ketaatan itu pada perkara yang baik.” (lihat Ar-Risalah Al-Wafiyah hal. 114)
Kelompok kedua yaitu yang tidak mau taat pada apa yang diperintahkan kedua orang tua baik dalam perkara yang diridhai oleh Allah ataupun tidak. Ini bertentangan dengan firman-Nya:
“Sungguh Rabb-mu telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain kepada-Nya dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (Al-Isra: 23)
“Katakan: Marilah kubacakan apa yang telah diharamkan kepada kalian oleh Rabb kalian yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (Al-An’am: 151)
Juga sangat bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah r, di antaranya:
Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud z, ia berkata:
“Aku bertanya kepada Rasulullah r: ‘Amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?’ Beliau berkata: ‘Shalat pada waktunya.’ Aku berkata: ‘Kemudian apa?’ Beliau berkata: ‘Berbuat baik kepada kedua orang tua.’ Aku berkata: ‘Kemudian apa?’ Beliau berkata: ‘Jihad di jalan Allah’.” (HR. Al-Bukhari, 10/336 dan Muslim no. 85)
Kelompok ketiga menaati perintah kedua orangtua selama tidak bertentangan dengan syariat Allah dalam arti tidak dalam rangka bermaksiat. Inilah sikap yang benar sesuai dengan ayat-ayat dan hadits-hadits di atas. Tidak ifrath dan tidak pula tafrith.
Sehingga jika ada pertanyaan, bagaimana hukum menaati kedua orang tua? Maka jawabnya tidak spontan wajib. Namun membutuhkan rincian. Jika perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah, maka wajib untuk menaatinya. Dan apabila perintah tersebut bertentangan dengannya, maka wajib untuk tidak taat kepada perintah keduanya. Dalilnya sebagaimana di atas.
Bagaimana bila orang tua melarang untuk menuntut ilmu agama? Menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap orang. Rasulullah r bersabda:
“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (Shahih, HR. Al-Baihaqi dan lainnya dari Anas dan lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahihul Jami’ no. 3913)
Allah berfirman:
“Berilmulah kamu tentang Laa Ilaha illallah.”
Kita tidak boleh menaati perintah orang tua apabila mereka memerintahkan untuk tidak menuntut ilmu karena termasuk bermaksiat kepada Allah. Rasulullah r bersabda:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah akan tetapi ketaatan itu dalam kebajikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/syariah/akhlak/879-cinta-yang-tak-mungkin-terbalas-akidah-edisi-8.html
0 komentar:
Posting Komentar