Apakah termasuk membatalkan wudhu dan shalat apabila keluar angin dari kemaluan setelah melahirkan dan setelah nifas, dan hal itu selalu terjadi ketika itu ruku’ ataupun sujud dalam shalat?
Ummu Ubaidurrahman-Poso
Dijawab Oleh:
al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-MakassariAlhamdulillah. Perlu diketahui bahwa angin yang keluar dari lubang kemaluan (qubul) bukanlah perkara yang biasa dan bukan hal yang sering terjadi, berbeda dengan angin yang keluar dari dubur. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Angin ini terkadang keluar dari lubang kemaluan (qubul) para wanita. Aku beranggapan tidak akan keluar dari qubul laki-laki, dan boleh jadi keluar, akan tetapi itu jarang sekali.”
Oleh karena itulah, para ulama berselisih pendapat apakah hal itu membatalkan wudhu atau tidak:
1. Mazhab jumhur ulama, di antaranya Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, dan Ahmad, bahwa hal itu membatalkan wudhu dengan dalil-dalil sebagai berikut.
Pertama, hal itu masuk dalam keumuman hadits Abu Hurairah z riwayat Muslim dan hadits Abdullah bin Zaid c yang muttafaqun ‘alaih, tentang orang yang merasakan sesuatu pada perutnya ketika shalat kemudian dia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak. Maka Rasulullah n bersabda:
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً أَوْ يَجِدَ رِيْحاً
“Janganlah dia membatalkan shalatnya sampai dia mendengar ada bunyi (angin yang keluar) atau mencium baunya.”
Artinya sampai dia yakin adanya angin yang keluar meskipun tidak mendengarnya atau mencium baunya. Jadi hadits ini umum menunjukkan bahwa angin yang keluar melalui salah satu dari dua lubang kemaluan depan (qubul) dan belakang (dubur) membatalkan wudhu. Hanya saja yang lazim terjadi adalah dari dubur.
Kedua, pengkiasan terhadap benda-benda lain yang keluar sebagaimana lazimnya melalui salah satu lubang kemaluan seperti kencing, berak, keluarnya madzi, dan yang lainnya. Karena, penyebutan perkara-perkara tersebut dalam banyak hadits bukanlah sebagai suatu bentuk pengkhususan, akan tetapi merupakan penyebutan sebagian (contoh) dari segala sesuatu yang keluar melalui dua lubang kemaluan. Hanya saja konteks ucapan Rasulullah n tentunya berkaitan dengan perkara-perkara yang umum dan lazim terjadi.
2. Abu Hanifah t berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu.
Wallahu a’lam, yang kami pandang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur. (lihat Sunan at-Tirmidzi dalam penjelasan hadits no. 74, al-Majmu’ karya an-Nawawi t, 2/4—8, Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd t, 1/24—25, asy-Syarhul Mumti’, 1/220)
Namun apabila angin tersebut senantiasa keluar dari qubul seorang ibu setiap kali ruku’ dan sujud sehingga merupakan hadats yang terus-menerus, maka dinamakan salasil ar-rih (angin yang keluar terus-menerus). Hukumnya sama dengan salasil al-hadats lain seperti salasil al-baul (air kencing yang keluar terus-menerus), salasil al-madzi (madzi yang keluar terus-menerus), dan yang lainnya. Wanita yang mengalami salasil ar-rih cukup baginya berwudhu setiap kali hendak melaksanakan shalat fardhu (wajib) ketika waktu shalat tersebut telah masuk, kemudian dia shalat dan berusaha menjaga agar tidak berhadats semampunya. Sedangkan angin yang keluar dari qubulnya di tengah-tengah shalatnya tidak membatalkan wudhu dan shalatnya, kecuali bila terjadi hadats yang lain seperti angin yang keluar dari duburnya, maka ini tentunya membatalkan wudhu dan shalatnya. Namun apabila ada waktu-waktu tertentu yang salasil al-hadats tersebut reda atau berhenti, maka wajib baginya untuk menanti kemudian berwudhu dan shalat pada saat-saat tersebut, selama tidak keluar dari batasan waktu shalat. (Lihat Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, 21/221, asy-Syarhul Mumti’ karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t, 1/392, terbitan Muassasah Asam)
Sisa Mani Keluar dari Farji,
Membatalkan Wudhu?
Bagaimana hukumnya bila seorang istri saat shalat mengeluarkan sisa mani dari farjinya? Dikarenakan sebelumnya dia berjima’ dengan suaminya. Apakah dia harus membatalkan shalatnya. Dan apakah itu membatalkan wudhu?
and…@hotmail.com
Dijawab Oleh:
al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Alhamdulillah. Perlu diketahui bahwa mani yang keluar dari dzakar (penis) lelaki dan farji (vagina) wanita dalam keadaan terjaga (bukan mimpi) bentuknya ada dua.
Pertama, yang keluar (karena syahwat, red.) dengan memancar, disertai rasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemahnya badan). Inilah yang dinamakan inzal, seperti yang terjadi saat mencapai puncak hubungan suami istri (orgasme).
Kedua, keluar tanpa disertai sifat-sifat di atas (atau tanpa syahwat, red.).
Menurut pendapat yang rajih (kuat), yang menimbulkan hadats akbar (besar)—disebut janabah—dan mewajibkan mandi adalah bentuk yang pertama. Itulah yang dimaksudkan oleh Allah l dalam firman-Nya:
“Jika kalian junub, maka hendaknya kalian bersuci dengan mandi.” (al-Maidah: 6)
Hal ini dikuatkan dengan hadits ‘Ali bin Abu Thalib z yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, bahwasanya Rasulullah n mengatakan kepadanya:
إِذَا حَذَفْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ مِنَ الْجَنَابَةِ وَإِذَا لَمْ تَكُنْ حَاذِفاً فَلاَ تَغْتَسِلْ
“Jika kamu memancarkan mani, maka hendaknya kamu mandi karena janabah. Dan jika keluar tanpa memancar maka jangan mandi.” (Hadits ini disahihkan asy-Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 125)
Adapun mani yang keluar dengan bentuk yang kedua hanya menimbulkan hadats ashghar (kecil) dan membatalkan wudhu. Ini adalah mazhab jumhur, seperti Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah. Adapun pendapat asy-Syafi’i t bahwa kedua bentuk ini mewajibkan mandi menurut kami adalah pendapat yang marjuh (lemah). (Lihat Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, 2/158, karya an-Nawawi, Majmu’ Fatawa, 21/296 dan asy-Syarhul Mumti’, 1/278—279)
Jadi apa yang dialami oleh wanita sebagaimana pertanyaan di atas, merupakan hadats kecil yang membatalkan wudhu dan shalat, meskipun yang keluar tersebut mani suaminya yang tertampung ketika jima’ (berhubungan dengan suaminya). Ini sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bin Zaid z, az-Zuhri, Qatadah, al-Auza’i, Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumullah, serta dipilih oleh kalangan asy-Syafi’iyyah (para pengikut mazhab al-Imam asy-Syafi’i t).
Adapun pendapat Ibnu Hazm t yang mengatakan bahwa mani suami yang keluar dari farji istrinya bukan hadats, merupakan pendapat yang lemah. Karena mani tersebut keluar melalui farjinya ditambah lagi bahwa tentunya mani tersebut tidak lepas dari percampuran dengan ruthubah (cairan farji wanita) itu sendiri. Bahkan apabila sang istri pun mengalami inzal ketika jima’ maka berarti kedua mani tersebut telah bercampur dan keluar bersama-sama. Hal ini dikatakan oleh sebagian ulama asy-Syafi’iyyah. (Lihat Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, 2/172, karya an-Nawawi t, Jami’ Ahkamin Nisa, 1/77—78)
Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/syariah/problema-anda/690-problema-anda-edisi-5.html
Angin yang Keluar dari Kemaluan
Senin, 02 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar