TIDAK BERLEBIHAN DALAM MENYANJUNG NABI shallallahu ‘alaihi wasallam Satu Bukti Cinta Rasul

Sabtu, 05 Maret 2011

Telah lewat pembahasan tentang bagaimana sikap dan bentuk-bentuk amalan yang dengannya akan terbuktikan bahwa seorang muslim benar-benar mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ada satu hal penting yang juga bisa menjadi bukti bahwa seorang mukmin benar-benar mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu tidak berlebihan dalam menyanjung beliau. Tidak diragukan lagi bahwasanya menyanjung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberikan penghormatan kepada beliau merupakan salah satu kewajiban terbesar dalam agama ini. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (8) لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا (9)

“Sesungguhnya Kami mengutus kamu (Muhammad) sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengagungkan beliau (Rasulullah), memberikan penghormatan kepada beliau, dan bertasbih kepada-Nya (Allah) di waktu pagi dan petang.” [Al-Fath: 8-9]

Di antara bentuk sanjungan dan penghormatan kepada beliau adalah memuji dan memanjatkan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lisan kita, sebagai wujud dari perintah Allah subhanahu wata’ala:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (56)

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzab: 56]

Asy-Syaikh ‘Abdullah Al-Bukhari hafizhahullah mengatakan: “Shalawat kita kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan salah satu di antara upaya taqarrub (pendekatan diri kepada Allah ta’ala) yang paling utama dan semulia-mulianya bentuk ketaatan, kita bertaqarrub kepada Allah dengan shalawat kepada Nabi.” [Haqqun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal. 46]

Namun, di satu sisi perlu kita ketahui juga bahwa segala sesuatu jika dilakukan secara berlebihan dan melampaui batas (ghuluw), maka akibat dan hasilnya pun juga tidak baik, bahkan bisa menyebabkan kebinasaan bagi pelakunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ.

“Telah binasa orang-orang yang berlebihan.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. [HR. Muslim]

Termasuk ketika menyanjung dan memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika dilakukan secara berlebihan, justru akan bisa menyeret dan menjerumuskan ke dalam jurang kebinasaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memperingatkan hal ini dalam sabdanya:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ.

“Janganlah kalian berlebihan dalam menyanjungku sebagaimana orang-orang Nashara telah berlebihan dalam menyanjung (Nabi ‘Isa) bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah: (Muhammad adalah) hamba Allah dan utusan-Nya.” [HR. Al-Bukhari dan Ahmad]

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas dengan jelas menunjukkan larangan bagi umat Islam dari sikap berlebihan dan melampaui batas dalam menyanjung beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana orang-orang Nashara telah terjatuh ke dalam sikap tercela tersebut dalam menyanjung Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.

Bagaimanakah bentuk sikap berlebihannya orang-orang Nashara dalam menyanjung Nabi ‘Isa, sehingga umat ini diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari sikap tersebut?

Para pembaca, sebagaimana diketahui, bahwa di antara keyakinan dan prinsip agama orang-orang Nashrani adalah meyakini bahwa Nabi ‘Isa alaihissalam adalah salah satu dari tiga ‘Tuhan’ yang berhak untuk diibadahi. Keyakinan seperti inilah yang disebut trinitas, yaitu sebuah keyakinan bahwa Tuhan yang berhak disembah dan diibadahi itu ada tiga: Allah, Nabi ‘Isa, dan ibunda Maryam. Barangsiapa yang meyakini dan membenarkannya, maka dia telah kafir sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (73)

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” [Al-Maidah: 73]

Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa bentuk sikap berlebihannya orang-orang Nashara ketika menyanjung Nabi ‘Isa alaihissalam adalah dengan memposisikan beliau sebagai Tuhan yang berhak diibadahi.

Nabi ‘Isa alaihissalam adalah seorang nabi dan utusan Allah subhanahu wata’ala yang mulia, wajib bagi umat manusia yang hidup di zaman beliau untuk beriman dan beramal terhadap risalah kenabian yang Allah subhanahu wata’ala amanahkan kepada putra ibunda Maryam tersebut. Namun, dengan kedudukan yang tinggi sebagai utusan Allah subhanahu wata’ala itu, beliau juga merupakan manusia biasa dan hamba Allah subhanahu wata’ala yang wajib untuk menghambakan dirinya (beribadah) kepada Allah subhanahu wata’ala, beliau tidak berhak untuk diibadahi, disujudi, dan dipersembahkan kepadanya segala bentuk peribadatan, sebagaimana ini semua telah diyakini dan dilakukan oleh orang-orang Nashara.

Kebinasaan bagi orang-orang Nashara, karena sikap mereka yang berlebihan dan melampaui batas dalam menyanjung, mengangkat, serta memposisikan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam pada kedudukan yang tidak selayaknya kecuali hanya bagi Allah subhanahu wata’ala saja, padahal Allah subhanahu wata’ala sudah memberikan peringatan dalam firman-Nya:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا (171)

“Wahai ahli kitab (Yahudi dan Nashara), janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, ‘Isa putera Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) Kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kalian mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu), (itu) lebih baik bagi kalian. Sesungguhnya Allah sesembahan yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.” [An-Nisa’: 171]

Sungguh binasa mereka, karena telah menjadi golongan orang-orang kafir yang akan menjadi penghuni neraka jahannam, kekal selama-lamanya. Ini semua menjadi pelajaran bagi umat Islam, sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ.

“Hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw (berlebihan dan melampaui batas) dalam menjalankan agama ini, karena sesungguhnya sesuatu yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap ghuluw dalam menjalankan agama.” [HR. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah]

Kemudian, apakah mungkin ada umat Islam yang bersikap seperti sikap orang-orang Nashara tersebut terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?

Jawabannya ada, bahkan sikap tersebut sangat mungkin akan ditiru dan diikuti oleh umat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ. قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ.

“Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti jalan (perilaku dan cara beragama) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai pun seandainya mereka memasuki lubang dhabb (binatang sejenis biawak, pent), kalian pasti tetap akan mengikuti mereka. Kami (para shahabat bertanya), ‘Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara?’ Beliau menjawab: Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Termasuk perilaku dan cara beragama orang-orang Nashara, ketika mereka menjadikan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam sebagai sesembahan mereka, akan ditiru oleh umat Islam terhadap nabinya.

Mungkin di antara pembaca ada yang menyanggah, adakah di antara umat Islam ini yang sampai menjadikan dan memposisikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Tuhan yang diibadahi? Ini adalah sesuatu yang sangat mustahil terjadi, tidak mungkin kaum muslimin akan beribadah dan sujud kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!

Para pembaca rahimakumullah, memang benar bahwa kaum muslimin tidak sujud dan mempersembahkan ibadahnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun sama saja, ketika mereka memposisikan Nabi kepada derajat yang sejajar dengan Allah subhanahu wata’ala sebagai pencipta, pengatur, dan pemberi rezeki kepada alam semesta, dan sebagai satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi, maka ini juga merupakan sikap ghuluw dan melampaui batas dalam menyanjung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Coba kita perhatikan, seandainya ada orang yang meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mampu memberikan perlindungan dan keselamatan dari bahaya atau musibah, padahal tidak ada yang mampu memberikan perlindungan dan keselamatan dari bahaya atau musibah kecuali Allah subhanahu wata’ala, bukankah ini berlebihan dan termasuk sikap memposisikan beliau pada kedudukan yang tidak selayaknya bagi siapapun kecuali Allah subhanahu wata’ala saja?

Dan juga, kalau seandainya ada orang yang meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui perkara yang ghaib, padahal tidak ada yang bisa mengetahui perkara ghaib itu kecuali Allah, bukankah ini juga ghuluw dan sikap berlebihan dalam mengangkat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada derajat yang tidak pantas dimiliki kecuali Allah saja?

Sekarang simaklah apa yang dikatakan oleh salah seorang tokoh yang bernama Al-Bushiri (608-696 H), ketika berlebihan dalam menyanjung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bait-bait syairnya yang dikenal dengan Qashidah Al-Burdah:

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ

سِوَاكَ عِنْدَ حُدُوْثِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ

“Wahai makhluk Allah yang paling dermawan (Nabi Muhammad), tidak ada bagiku siapapun yang aku bisa berlindung padanya.

Selain engkau, ketika terjadinya musibah yang merata.

Dalam bait syairnya di atas, dengan terang-terangan Al-Bushiri menyatakan bahwa tidak ada yang bisa memberikan perlindungan dari berbagai musibah kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam bait syairnya yang lain, Al-Bushiri menyatakan:

فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا

وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

Sesungguhnya di antara kedermawanmu adalah adanya dunia dan segala perhiasannya.

Dan di antara ilmumu adalah ilmu lauhul mahfuzh dan qalam (pena pencatat takdir).

Pengetahuan terhadap lauhul mahfuzh dan takdir merupakan perkara ghaib, tidak ada yang mampu mengetahuinya kecuali Allah subhanahu wata’ala saja. Namun Al-Bushiri masih saja memposisikan Nabi sebagai orang yang mengetahui perkara ghaib. Sebuah sikap dan keyakinan yang bertentangan dengan Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak akan rela dengan sikap orang-orang yang melampaui batas tersebut, karena beliau sendiri telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagaimana dalam firman-Nya:

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (188)

“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah, dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.” [Al-A’raf: 188]

Katakanlah, “Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya.”

Setelah memberikan peringatan dan larangan kepada umatnya dari sikap berlebihan dalam menyanjung beliau, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan:

فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ.

“Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah: (Muhammad adalah) hamba Allah dan utusan-Nya.”

Beliau adalah hamba, manusia biasa, dan makhluk (ciptaan) Allah yang tidak semestinya untuk disejajarkan kedudukannya dengan Sang Khalik (Pencipta). Dan beliau adalah seorang rasul utusan Allah yang wajib untuk diimani, ditaati, diteladani, dicintai, disanjung, dan dihormati sesuai dengan batasan syariat agama ini.

Pada suatu ketika, ada salah seorang shahabat yang memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan panggilan yang mengandung pujian dan sanjungan yang berlebihan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberikan teguran:

أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكمُ الشَّيْطَانُ أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِى فَوْقَ مَنْزِلَتِى الَّتِى أَنْزَلَنِى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.

“Wahai sekalian manusia, wajib atas kalian untuk menjaga ketaqwaan kalian, jangan sampai syaithan menyesatkan kalian, aku adalah Muhammad bin ‘Abdillah, seorang hamba Allah dan utusan-Nya, demi Allah, aku tidak suka jika kalian mengangkat derajatku melebihi derajat dan kedudukan yang telah Allah ‘azza wajalla tetapkan bagiku.” [HR. Ahmad]
http://www.assalafy.org/mahad/?p=576


0 komentar:

Posting Komentar