Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar Seorang ‘Alim Pewaris Kepribadian Ayahnya

Sabtu, 26 Maret 2011

Tidak diragukan bahwa Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar adalah salah satu tokoh fuqaha’ dari kota Madinah yang memiliki keutamaan ilmu yang luas dan akhlak yang mulia.Namun para ulama berbeda pendapat apakah beliau termasuk salah satu Al-Fuqaha’ As-Sab’ah yang dikenal di kalangan kaum muslimin ataukah bukan. Silakan lihat kembali biografi Abu Bakr bin ‘Abdirrahman bin Al-Harits.

Untuk mengenal lebih jauh tentang Salim bin ‘Abdillah, kami sebutkan biografi singkat beliau. Semoga bermanfaat.

Kunyah, Nama Lengkap, dan Asal Usul Beliau

Nama lengkap beliau adalah Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththab Al-Qurasyi Al-’Adawi Al-Madani, cucu Amirul Mukminin Al-Khalifah Ar-Rasyid yang kedua, ‘Umar bin Al-Khaththab Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu.

Kunyah beliau adalah Abu ‘Umar, dan adapula yang mengatakan bahwa kunyah beliau adalah Abu ‘Abdillah.

Ayah dari tokoh tabi’in yang satu ini adalah seorang ulama besar dari kalangan shahabat, yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar yang tidak diragukan lagi keilmuan dan sikap ittiba’nya terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Salim bin ‘Abdillah adalah seorang imam yang zuhud, hafizh, mufti (pemberi fatwa) di kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Madinah An-Nabawiyyah. Dilahirkan pada masa pemerintahan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, beliau tumbuh menjadi seorang alim besar, salah satu tokoh fuqaha kota Madinah yang disegani dan dicintai umat.

Sa’id bin Al-Musayyib mengatakan, “Abdullah bin ‘Umar mengatakan kepadaku, ‘Tahukah engkau mengapa aku menamakan anakku dengan Salim?’ Aku berkata, ‘Aku tidak tahu.’ Kemudian kata Abdullah bin ‘Umar, ‘Aku menamakannya dengan Salim seperti nama maula Abu Hudzaifah -yaitu Salim-, salah seorang sahabat.”

Sebenarnya ibu Salim adalah seorang putri kerajaan Persia yang runtuh pada peperangan Al-Qadisiyah di masa pemerintahan Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ceritanya, ketika didatangkan para tawanan dari kerajaan Persia yang telah diporakporandakan oleh tentara Allah tersebut, di antara tawanan-tawanan tadi terdapat putri-putri Yazdajurd (Kisra/Raja Persia). Maka masing-masing dari putri Kisra Persia itu dinikahkan dengan anak-anak para shahabat yang mulia, yang pertama dinikahkan dengan ‘Abdullah bin ‘Umar yang dari keduanya lahirlah Salim, yang kedua dinikahkan dengan Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib dan lahir dari keduanya ‘Ali (yang dikenal dengan Zainul ‘Abidin), dan putri yang ketiga dinikahkan dengan Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq yang kemudian lahirlah buah perkawinan dari keduanya yang diberi nama Al-Qasim.

Ketiga putra-putra itu (Salim, ‘Ali bin Al-Husain Zainul ‘Abidin, dan Al-Qasim) tumbuh menjadi tokoh-tokoh besar yang berilmu, bertaqwa, wara’, dan ahli ibadah yang dicintai oleh kaum muslimin ketika itu dan hingga hari akhir nanti, Insya Allah.

Diceritakan oleh Abuz Zinad bahwa dahulu penduduk Madinah membenci untuk menjadikan (para tawanan/budak wanita) sebagai ummahatul awlad (yang melahirkan anak-anak tuannya). Sampai ketika lahir dari rahim-rahim mereka (putri-putri Yazdajurd tersebut) para qurra’ dan tokoh-tokoh besar, (yaitu) ‘Ali bin Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Qasim bin Muhammad, dan Salim bin ‘Abdillah, dan bahkan mereka melebihi penduduk Madinah dalam hal keilmuan, ketaqwaan, ibadah, dan wara’, maka seketika itu orang-orang sangat menyukai keberadaan para tawanan.

Keilmuan, Ibadah, dan Akhlak beliau

Beliau mengambil ilmu dari ayahnya (‘Abdullah bin ‘Umar), Ummul Mukminin ‘Aisyah, Abu Hurairah, Abu Ayyub, Rafi’ bin Khadij, Safinah, Abu Rafi’, Sa’id bin Al-Musayyib, dan yang lainnya.

Sedangkan para ulama yang berguru dan mengambil ilmu dari beliau adalah anaknya sendiri (Abu Bakr), Ibnu Syihab Az-Zuhri, Shalih bin Kaisan, Hanzhalah bin Abi Sufyan, ‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Hafsh, Abu Waqid Al-Laitsi Ash-Shaghir, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, Abu Qilabah Al-Jarmi, Humaid Ath-Thawil, ‘Amr bin Dinar Al-Makki, ‘Amr bin Dinar Al-Bashri, Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, Musa bin ‘Uqbah, Muhammad bin Wasi’, Yahya bin Abi Ishaq Al-Hadhrami, Katsir bin Zaid, Fudhail bin Ghazwan, ‘Ikrimah bin ‘Ammar, Umar bin Hamzah, dan lain-lain.

Dikatakan oleh Rabi’ah, “Bahwa dahulu berbagai permasalahan agama dipegang oleh Sa’id bin Al-Musayyib, namun setelah meninggalnya beliau, maka berbagai permasalahan agama tersebut diserahkan kepada Al-Qasim bin Muhammad dan Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar.

Di antara putra-putra ‘Umar bin Al-Khaththab, yang paling mirip dengan beliau adalah ‘Abdullah bin ‘Umar, dan di antara putra-putra ‘Abdullah bin ‘Umar yang paling mirip dengan beliau adalah Salim bin ‘Abdillah.

Di antara murid-murid ‘Abdullah bin ‘Umar yang paling menonjol adalah Salim bin ‘Abdillah -putra beliau sendiri- dan Nafi’. Kemudian ada seorang yang bertanya kepada Yahya bin Ma’in, “Siapakah yang paling berilmu, Salim ataukah Nafi’?” Yahya bin Ma’in menjawab, “Mereka mengatakan, ’sesungguhnya Nafi’ tidaklah mengajarkan hadits, sampai meninggalnya Salim.”

Terjadi perbedaan pendapat dalam hal penyandaran riwayat antara hadits yang diriwayatkan oleh Salim dengan hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar dalam tiga hadits. Maksudnya adalah dalam satu matan hadits yang sama, periwayatan Salim dari ‘Abdullah bin ‘Umar adalah secara marfu’ namun Nafi’ meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar secara mauquf. Dan ini terjadi pada tiga hadits.

Ka’b mengatakan, “Salim lebih mulia dari Nafi’, namun hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’ adalah lebih utama dalam hal kebenarannya dibanding hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Salim bin ‘Abdillah.”

Suatu ketika khalifah Hisyam bin ‘Abdil Malik memasuki Ka’bah dan bertemu dengan Salim bin ‘Abdillah. Maka berkatalah Hisyam, “Mintalah kepadaku semua kebutuhanmu!” Maka Salim pun mengatakan, “Sesungguhnya aku malu kepada Allah untuk meminta kepada selain-Nya di rumah-Nya ini.” Tatkala keduanya telah keluar dari Ka’bah, Hisyam berkata, “Nah, sekarang mintalah kepadaku semua kebutuhanmu!” Salim bertanya, “Apakah yang engkau maksud itu kebutuhan dunia atau kebutuhan akhirat?” Hisyam menjawab, “kebutuhan dunia.”

Maka berkatalah Salim, “Demi Allah, aku tidak akan meminta dunia kepada Yang memilikinya (Allah), maka bagaimana mungkin aku meminta dunia kepada yang tidak memilikinya?”

Pernah suatu ketika seorang penguasa yang kejam yaitu Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi -salah seorang gubernur khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan di negeri ‘Iraq- menyuruh Salim bin ‘Abdillah untuk membunuh seorang laki-laki. Maka Salim bertanya terlebih dahulu kepada orang tersebut, “Apakah engkau seorang muslim?” Laki-laki tadi menjawab, “Ya.” Kemudian Salim bertanya kembali, “Apakah kamu pagi ini sudah melakukan shalat shubuh?” Kata laki-laki itu, “Ya.”

Kemudian Salim pun kembali kepada Al-Hajjaj sambil melemparkan pedangnya dan berkata, “Dia (laki-laki tersebut) mengatakan bahwa dia adalah seorang muslim dan dia juga pada pagi hari ini telah melakukan shalat shubuh, dan sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan shalat shubuh maka dia berada dalam jaminan Allah.” [HR. Muslim dan At-Tirmidzi].

Kemudian Salim berkata, “Kami tidak akan membunuh orang yang melakukan shalat, akan tetapi kami akan memerangi orang-orang yang membunuh ‘Utsman.”

Beliau memiliki akhlak yang mulia dan merupakan seorang yang kuat seperti kuatnya tubuh para pekerja (kuli). Beliau memiliki kemiripan dengan ayahnya dalam hal gaya hidup, yaitu menjauhi kemewahan. Rambut dan jenggot beliau berwarna putih, pernah menjadi utusan kepada khalifah ‘Abdul Malik untuk menyampaikan bai’at ayahnya, kemudian pernah pula beliau mendatangi khalifah Al-Walid kemudian juga khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.

Pujian para ‘ulama kepada beliau

Al-Imam Malik mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang hidup di zaman Salim bin ‘Abdillah yang lebih mirip dengan orang-orang shalih terdahulu dalam hal kezuhudan, keutamaan, dan gaya hidup dibandingkan beliau.”

Maksudnya adalah bahwa Salim merupakan seorang yang zuhudnya, keutamaannya, dan gaya hidupnya paling mirip dengan orang-orang shalih zaman dahulu dibandingkan selain beliau.

Ibnu Hibban berkata, “Beliau adalah seorang yang mirip dengan ayahnya dalam hal perangai dan bimbingannya.”

Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahuyah berkata, “Rangkaian sanad yang paling shahih adalah Az-Zuhri (meriwayatkan) dari Salim, (dan Salim meriwayatkan) dari ayahnya (‘Abdullah bin ‘Umar).

Ahmad bin ‘Abdillah Al-’Ijli berkata, “Salim bin ‘Abdillah adalah seorang tabi’in Madinah yang terpercaya.”

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Para ulama kota Madinah -yang terlahir dari mereka berbagai pendapat dalam bidang fikih- ada tujuh orang, yaitu: (Sa’id) bin Al-Musayyib, Sulaiman bin Yasar, Salim, Al-Qasim, ‘Urwah, ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, Kharijah bin Zaid. Jika datang kepada mereka suatu permasalahan, maka mereka pun masuk ke permasalahan tersebut untuk membahasnya, tidaklah ada seorang hakim yang memutuskan suatu permasalahan sampai si hakim tadi mengangkat permasalahannya itu kepada mereka, kemudian mereka membahasnya dan memutuskan perkara tersebut.

Ibnu Sa’d berkata, “Salim adalah seorang yang tsiqah (terpercaya), banyak meriwayatkan hadits, seorang yang memiliki kedudukan yang tinggi, dan seorang yang memiliki sifat wara’.”

Wafat Beliau

Beliau wafat pada bulan Dzulqa’dah atau Dzulhijjah tahun 106 H. Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 107 H atau 108 H. Namun pendapat yang paling kuat adalah yang pertama, yaitu yang menyatakan bhawa beliau wafat tahun 106 H sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’. Jenazah beliau dishalatkan oleh khalifah Hisyam bin ‘Abdil Malik setelah selesainya beliau dari menunaikan ibadah haji. Wallahu Ta’ala A’lam.

Referensi:

1. Siyar A’lamin Nubala’

2. Al-Bidayah Wan Nihayah

3. Tahdzibut Tahdzib

Dirangkum Muhammad Rifqi dan Abu Abdillah.
http://www.assalafy.org/mahad

0 komentar:

Posting Komentar